Jika Aku Menghilang

“Nad, kamu dimana?”

“Nad..Nad.. Nadaa..” tuttttttttt. Telepon di tutup

Dewa duduk sendiri. Termenung. Rindu Nada, Istrinya. Dia melihat tanaman di kebun belakang rumah sudah mulai ranum. Nada suka sekali tanaman. Tapi bukan kembang-kembangan mewah yang  suka dijadikan tanaman hias di rumah. “Ini cengek. Kalau kata orang sunda gitu mas. Alias cabe.” Dewa hanya menganggu tanda mengerti. Tak hanya cengek, namun ada juga tomat, daun bawang, daun pandan, hingga pohon mangga yang dia beli dari tetangga depan.  Nada bilang, pohon mangganya nanti akan sama besar dengan anak kami, Adwa. Tapi, ini sudah hari kelima, tanamanmu butuh kamu Nad, kamu di mana?

12 Januari

Sore itu masih terik. Sengaja aku pulang lebih awal, karena rindu kau dan Adwa. Tapi belum juga keluar kantor, ibu mengabariku kau tak di rumah. Lantas kupikir, mungkin kau pergi ke warung depan Bang Ucok, atau sekedar singgah di warungnya Bi Salma. Tapi, sudah berkeliling-keliling, kata ibu kau tak ada. Kau tak pulang. Sudah sejam lamanya.  Aku pun panik.

13 Januari

Kau menghilang Nad. Polisi sudah berkali-kali menanyaiku. Menanyai ibu. Sampai keluargamu. Tapi tak ada yang tahu. Kau kemana Nad. Putri kita membutuhkanmu. Adwa terus menangis karena mencari ibunya. Dia haus, lapar Nad. Kau tega meninggalkan putrimu yang baru dua bulan. Kau kemana?

14 Januari

Aku benar-benar marah, kesal. Tak ada kabar apapun soalmu. Banyak dugaan yang mengarah padaku, kalau aku menganiayamu, aku memukulmu hingga kau lari Nad. Bahkan, keluargamu mencurigaiku. Polisi terus mengawasiku. Padahal sudah kukatakan, kau dan aku baik-baik saja. Bahkan kita punya Adwa. Aku takut Nad, apa ada orang jahat yang membawamu pergi dari kami. Apa ada yang menyakitimu.

15 Januari

Belum juga ada kabar dari kepolisian. Aku terus berpikir apa yang kulewati selama ini. Kamu menghilang bagai ditelan bumi. Tak ada baju yang kau bawa, tak ada tas yang kau bawa. Hanya handphone. Dan itu pun hanya menyala sebentar, lalu mati. Aku berusaha melacakmu tapi gagal. Kau seperti tak ingin ditemukan. Apa aku melakukan dosa besar Nad, hingga kau menghilang?

-------

Tiba-tiba Dewa berdiri. Dia berlari menuju kamarnya. Mencari-cari tumpukan kertas yang selalu berserakan di kamarnya. Nada tak pernah melepas kertas itu. Dia tampak serius membacanya berulang dan berulang. Hingga Dewa kesal. Bagaimana tidak, istrinya malah mengunci pintu di kamar mandi, dan membawa tumpukan kertas itu bersamanya. Padahal Adwa terus-terusan menangis karena haus. Itu dua hari sebelum kau menghilang.

“Buk, pernah melihat kertas yang selalu dibawa Nada,” seru Dewa sembari matanya mencari ke seluruh kamar.  

 “Sepertinya ada ditumpukan kertas kantormu.” Ibu bergegas mencari kertas berbundle biru muda itu. “Ini kan? Apa ada hubungannya dengan hilangnya Nada wa? Tanya ibu. “Aku akan cari tahu bu.”

Aku segera membawa tumpukan kertas itu ke kamar. Mungkin ada 20an kertas yang isinya semua sama. Mulai dari kliping koran, majalah, hingga print out. Semua tentang “ Baby Blues”

“Apa aku Baby Blues mas.”

Dewa bergeming.

 

***

 “Halo. Aku Serenada.”

“Hai. Aku Maladewa.”

Jika ingat tahun 1998, yang kuingat pertama kali bertemu denganmu. Cantik, dan energik. Tapi menurutku kau sedikit tertutup. Sikapmu seperti bunglon. Kau begitu bersemangat melakukan sesuatu, terutama saat ada kegiatan sosial, atau kemanusian. Suaramu lantang, bicaramu cepat. Tapi, setelah itu kau lebih memilih sendiri. Duduk dipojokan perpustakan, hanya mendengarkan musik dan membaca. Ini kulihat berulang. Aku jadi penasaran, musik seperti apa yang kau suka.

“Hai Nada.” Kau tampak terkejut saat aku menyapa di lorong penuh buku itu. Matamu memandang ragu, seperti mencoba mengingat siapa aku. “Kau Dewa? Tiba-tiba kau tersenyum.

“Kau ingat aku? Mencoba menahan senyuman lebar, tapi jujur saat itu aku senang. Kau ingat namaku.

“Apa aku menganggumu Nada? Aku penasaran dengan musik yang kau dengar.”

“Oh ya ... Silakan. Jika mau, kau boleh mendengarkan.” Dia memberikan headset nya kepadaku. Dan aku takjub. “Kau suka symphony? “ aku sedikit terkejut dengan musik yang didengarnya.

“Tidak juga. Aku suka musik apapun. Asal itu membuatku tenang saat aku membaca. Rasanya nyaman, aku bisa fokus menulis atau membaca jika aku mendengarkan musik.” Senyummu hangat. Tak akan kulupa senyuman manis bibir mungilmu itu. Ah, rasanya ingin kupeluk dan kukecup bibirmu.

Meski musik kami beda, tapi kami menyukai ritual mendengarkan musik saat membaca. Kebiasaan inilah yang membuatku semakin dekat denganmu.

“SERENADA.” Sedikit berteriak, karena dia terus menggodaku. Dia berlari seperti anak kecil, padahal beberapa kali kupanggil. “Ayolah Nad, ini sudah sore. Kita harus pulang. Ayo naiklah.” Pintu mobil kubuka lebar. Namun, dia bergeming.

Saat itu, kami menghabiskan hari di pantai. Nada suka sekali laut. Aku membawanya saat hari jadi kami yang kedua. Ya ... dua tahun kami menjalin cinta.

Aku akhirnya mengalah. Memarkir lagi mobil, kemudian menghampirnya.

Dia duduk di pasir, sembari menikmati senja. Hingga tiba-tiba. “Dewa, bagaimana kalau kita menikah.”

Deg. Hatiku berdegup kencang. Tak menyangka dia mengatakan itu. Aku menghela nafas panjang, sebelum kupegang tangannya. “Baiklah. Tapi nanti, saat kita berdua lulus. Aku harus mencari pekerjaan dulu, dan kau pun harus menuntaskan kuliahmu.” Aku mencoba menjelaskan keinginannya dengan logika.

“Aku ingin menikah sekarang. Rasanya aku tak punya waktu untuk melakukan ini semua. Kita sudah melakukan banyak hal, melakukan sesuatu yang harusnya tak kita lakukan. Aku seperti berdosa, penuh dosa.” Dia menangis.

Aku tak tahu harus berkata apa.  Aku mengakui,  jalinan kasih kami memang terlalu bebas. Tapi kami selalu mengambil jalan aman. Aku tak pernah menyentuhnya. Kami hanya berpelukan, pegangan tangan, dan sesekali berciuman. Itu pun ketika Nada mengizinkan. Tak lebih dari itu.

“Rasanya ini tak benar Dewa. Aku tahu kau masih menjaga kesucianku. Kau tak pernah macam-macam. Tapi, aku tak ingin berlama-lama.” Tangisnya semakin kencang

Aku membalikkan badannya, memegang pipinya, dan berkata “jika kau ingin menikah, baiklah ayo kita menikah.” Dia tersenyum. Ku kecup bibir mungilnya mesra, pelan dan semakin dalam. Dia pun membalas.

Aku kira, Nada lupa keinginannya dua minggu lalu di pantai. Tapi pesan textnya padaku hari ini serius. Apa yang harus kulakukan. Aku bingung. Aku harus menyeleseikan kuliahku dulu dan bekerja. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ditawarkan kolega pamanku. Dia menjanjikan posisi itu, jika nilai-nilaiku cam laude. Dan sulit aku harus fokus pada keduanya.

Aku segera membalas pesannya. “Tunggu satu tahun, bisakah? Aku ingin bekerja dan membuktikan aku bisa,” kuhentikan sampai disitu. Dan, “READ” notif itu muncul. Tapi kutunggu-tunggu tak ada balasan. Hingga handphoneku berbunyi. “OK” hanya dua kata itu balasan dari pertanyaanku siang tadi.

Karena tak punya waktu lagi, skripsiku harus segera kutuntaskan. Akibatnya aku akan sibuk. Dan tak bisa diganggu. Dan selama sebulan itu pula, aku jarang bertemu nada. Aku hanya menelponnya beberapa kali. Sikapnya dingin. Mungkin dia masih marah padaku.

Pengorbananku tak sia-sia. Aku lulus dengan hasil memuaskan. Aku senang, dan segera kutelepon Nada. Ingin rasanya pergi berdua bersamanya, merayakan keberhasilanku. Tapi ... Nada tak bisa dihubungi.

Sorenya, aku mampir ke rumah Nada. Ada di mbok yang hendak pulang saat itu. Dia menyuruhku ke dalam saja, Nada sendirian. Keluarganya sedang keluar kota hingga akhir pekan. Nada baru menyusul setelah ujiannya rampung.

Aku mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Pintu terbuka, dan kuberanikan masuk. Dia tertidur. Seperti lelah. Aku mendekat padanya. Kuusap kepalanya, betapa rindu padamu Nad. Aku rindu mencium aroma tubuhmu, rindu pelukanmu, rindu candamu, rindu marahmu, dan rindu kecupanmu. Bibir mungilmu seperti terus menggodaku setiap kali kita bertemu. Dan tanpa ragu, kukecup bibir merah itu. Kau terbangun.

“Dewa.” Kau berdiri seakan tak percaya aku di sini. “Kau, sedang apa di sini.” Dia duduk kembali sambil mengusap kepalanya, bingung.

“Aku rindu padamu Nad.”

“Maaf, aku selama ini sibuk.” Kudekatkan tanganku padanya. Tapi, dia menghindar.

“Kau marah? Ya ... sudah seharusnya.” Aku menghela nafas panjang, sebelum kujelaskan panjang lebar kegiatanku selama ini. Dia hanya terdiam.

“Aku mengerti.” Dia menangis. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Dia terus menangis. “Aku sangat sangat merindukanmu Dewa. Tapi seakan kau tak peduli. Kau menghilang saat aku membutuhkanmu. Kau tak ada saat aku rindu pelukanmu,” dan ... dia menatapku sejenak. “Aku juga rindu kecupanmu Dewa.” aku terkejut mendengarnya. Entah setan apa yang merasukiku. Bencana itu pun terjadi.

Aku menciumnya sangat dalam, dia pun membalas. Rasanya nyaman berada di dekatnya, dan ingin semakin dekat. Aku bisa merasakan kulit tubuhnya yang halus, wangi pundaknya, dan dekapan pinggangnya. Saat itu, kami seperti di awang-awang. Meruntuhkan tembok kerindungan, dan menghempaskannya terlalu dalam. Dia milikku dan aku milikknya. Kami menikmati sore itu hingga malam. Dan berulang.

---

“Saya ingin melamar nada,” tutur Dewa tegas.  Kedua orang tuanya saling pandang dan terdiam. Cukup lama. Hingga ayahnya berkata, tunggu, beri kami waktu.”

“Aku hanya bilang, bukan meminta persetujuan.” Ayahnya langsung menoleh tak percaya. “ Terserah apa maumu.” Sosok tegap berwibawa itu pergi. Ibunya tak banyak berkata, dan bergegas menyusul suaminya.

Hingga tiga hari kemudian, ibunya datang. Bungkusan makanan yang dibawa ibunya hampir memenuhi kamar kosnya yang hanya 3x4 meter.

Hampir 15 menit berlalu sejak ibunya datang, tak ada percakapan.

“Aku datang sebagai ibumu. Jika ada hak aku dalam membesarkanmu, setidaknya dengar apa yang ingin kuutarakan padamu Dewa.”

Dewa menunduk. Dia tahu saat Ibunya sudah seserius itu, artinya ada hal penting yang ingin disampaikannya. Dia mengangguk.

“Aku kecewa padamua Dewa.” Dewa langsung menoleh pada ibunya. Dengan cepat berpaling kembali.

Aku mengajarkanmu sopan santun, mengajarkanmu tanggungjawab, mengajarkanmu menghormati, dan mengajarkan apa yang seharusnya dimiliki seorang lelaki.

Kau, tak tahu betapa cemasnya kami karenamu. Jika kau tak menganggap kami orang tuamu, setidaknya balaslah budi kami saat mengurusmu. Kami hanya memintamu tiga hari, bukan untuk memutuskan kau boleh menikah atau tidak. Tapi untuk mengukur kemampuan kami membantumu dalam pernikahan, tapi kau cepat sekali berkata yang menyakitkan.  Dewa menangis. Air matanya tak terbendung, dan dia pun melihat air mata yang sama di pipi ibunya. “Oh Tuhan, begitu kejam aku menyakiti mereka,” rintih hati Dewa.

“Maafkan aku Ibu. Maaf,” Dewa tertunduk mengusap air mata yang tumpah tak mau berhenti.  Tangan yang tak lagi muda, tapi begitu lembut menggenggam tangan Dewa. “Ah ibuku, durhaka sekali aku padamu,” lagi, hanya rintihan dalam hatinya.

Hingga, pelukan itu merangkul bahu

To be continued

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer