Nenek Kerudung Biru
3 Februari, 2015
“Don’t Judge a Book From Its Cover !”
Jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya semata, adalah pepatah Inggris.
Karena boleh jadi apa yang kita lihat tidak seperti apa yang kita sangkakan.
Papatah itu
memang begitu pas menggambarkan peristiwa yang saya alami beberapa waktu lalu.
Pertemuan saya pertama kali dengan seorang ibu yang sudah lanjut usia, si
pedagang serabi. Pakaiannya sederhana, bahkan mungkin terlalu sederhana. Saya
masih ingat pakaian kebaya tua model lama yang dikenakan perempuan tua itu. Dia
berjilbab warna Biru langit yang sudah memudar, senada dengan baju kebayanya yang
berwarna biru pucat. Jalannya pun sedikit bungkuk.
Sore itu, saya
berjalan hendak pulang bekerja. Sekitar 100 meter setelah keluar kantor, dan
sengaja membeli beberapa roti untuk anak sulung saya, nenek kerudung biru
tersebut, begitu saya panggil,menawari saya dagangannya. Gerobak kecil dorong
miliknya penuh dengan serabi hangat yang dibungkus plastik. Satu plastik berisi
lima buah serabi. Harganya lima ribu rupiah saja.
Ketika saya
pegang, serabinya masih hangat. Memang penampilannya tidak menarik, bentuknya
juga tidak seperti serabi. Kuenya
berbentuk bulat, kenyal, bawahnya hitam-hitam seperti gosong saat dibakar. Spontan saya menaruh kembali kue tersebut.
“Ngga jadi bu, maaf.”
“ Ngga apa-apa, de,” balas nenek Kerudung Biru
seraya pergi.
Saat berjalan
pulang, seperti ada yang mengganjal di hati saya. Oh Tuhan, baru saya sadar
bahwa saya salah. Ingat nasihat seseorang, “ Belilah dagangan si kakek atau
nenek tua, meskipun sebenarnya kita tidak terlalu butuh. Karena itu bagian
dari kerja kerasnya, dan kita pun menghindarkan mereka dari meminta-minta.”
Ketika kaki saya berhenti melangkah, nenek kerudung biru sudah tak terlihat
sama sekali. Saya pun bertekad, jika bertemu dia lagi dagangannya pasti saya
beli.
Selang beberapa
hari,
Sore seperti
biasanya saya keluar kantor. Saya hendak
membeli makan malam untuk suami dan anak. Bahkan saya sempat mampir ke mini
market membeli keperluan sehari-hari.
Nenek kerudung biru lewat tepat di depan saya. Dia masih mengenakan
pakaian yang sama. Ditambah rok biru motif bunga mengiringi langkah tuanya pelan dan
pelan.
Tanpa pikir
panjang, saya berhentikan nenek kerudung biru.
“Beli serabinya
nek? Satu lima ribu yak?” tanya saya
“Iya de, ada
donat juga, harganya sama,” kata Nenek
Saya memilih dan
memilah serius layaknya pembeli. “Saya beli satu ya nek,” seraya memberikan
uang sepuluh ribu kepadanya.
“Udah nek, ngga
usah dikembalikan, buat nenek saja,” tambah saya
Pikir saya, nenek
kerudung biru bakal mengucapkan terima kasih. Kenyataannya dia malah
menyodorkan saya kue lagi.
“Kalau ngga mau
dikembalikan ya harus dua kuenya,” tegas dia
Saya dengan halus
menolak, berkali-kali pula dia menyodorkan kuenya. Dia membungkus kue tersebut
dengan plastik hitam. “Ini de, terima. Ngga kembalian, berarti harus dua ya
kuenya,” jelas nenek kembali mengulang.
Hufffttt, saya
pasrah saja deh. “ Iya nek, maksih ya.”
Nenek tersebut
pergi sambil mendorong gerobak kecilnya
yang mirip becak, penuh dengan makanan. Entah kemana kakinya melangkah. Semoga
dagangannya laku ya nek. Meski menjual kue yang bisa dibilang buruk
penampilannya, namun tak ada yang mustahil bagi Allah. Allah tak pernah lupa
memberi rezki, bahkan pada mereka yang tak mau bekerja meraihnya.
Saya menghela
nafas panjang. Dua kesalahan saya, atau bahkan lebih. Pertama, saya
menunda-nunda jika ingin menolong orang. Kedua, ketika menolong orang, yang
kelihatannya membutuhkan dan pasti senang kita bantu, dalam pikiran saya.
Ternyata tidak semua yang membutuhkan, mau menerima pertolongan kita. Seperti
nenek kerudung biru.
Sekilas memang
dia menjadi orang yang pantas kita bantu, karena penampilan dan usianya. Namun,
saya salah. Tindakan Nenek Kerudung Biru hari itu mengejutkan saya. Jauh dari meminta-minta, dan tidak ingin
mencari rezki yang instant dengan menerima uluran tangan orang, tanpa usaha.
Moga kita dijumpakan lagi yak nek.
Nenek Kerudung
Biru, sikapmu jadi inspirasiku.
Komentar
Posting Komentar