Surat Dari Negeri Seberang



Bapak sampai dengan selamat.”

Itu tulisan pertama bapak ketika dia memutuskan merantau ke negeri asing. Meskipun ini bukan kali pertama bapak pergi, namun kehilangannya merobek hati Ara.

Inget Ra, jaga adik-adik. Patuh sama Ibu ya.”

Ara tak kuasa membaca kembali surat Bapak. Berlembar kertas itu hanya di dekapnya erat. Ara menangis dan hanya menangis.

Bapak...Bapak... Bapak...

Dia termenung lama di dalam kamar kedua orang tuanya. Bapak yang berminggu-minggu lalu masih disini. Bercanda dengannya. Kamar gelap ini menjadi saksi janji Bapak pada Ara. Ara tahu!kini dia paham, kenapa Bapak dulu meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk pergi merantau ke negeri seberang.

 “Bapak pasti kembali, pasti. Bapak ingin Ara, Ibu dan Adik-Adik Ara punya rumah.”

Ara terus menangis. Air matanya tak mampu dia tahan lebih lama. Pintu kamar yang tadinya terbuka pun, dia tutup rapat. Agar ibunya tak mendengar tangis Ara.

Ara terbaring sambil memegang surat Bapak. Berlembar-lembar kertas putih itu hanya dipeluk Ara erat. Dia merasa Bapak begitu tega meninggalkan dia dan dua adiknya. Ibu mungkin menerima kepergian Bapak. Tapi dalam lubuk hati Ara, tidak!

Bapak seharusnya tak pergi meninggalkan dia. Ara tak punya lelaki lain, yang bisa mengantarnya pergi sekolah, ataupun mengkhawatirkan dia ketika pulang larut malam. Ara hanya ingin dikhawatirkan Bapak. Ara ingin dimanja Bapak. Ara ingin nasihat Bapak. Ara ingin Bapak ada di sini. Menemani setiap langkah hidup Ara.

Kenapa Bapak tak mencari saja pekerjaan disini. Toh, banyak yang bisa Bapak lakukan. Dulu saja ketika Dahlia, adik Ara belum ada, Ibu bilang Bapak cukup sukses punya dua mobil angkot di Bandung.  Bapak bisa menyewakan satu mobilnya dikemudikan orang lain, dan satu lagi dipakai Bapak.

Ara tak mengerti pa? Bukankah Bapak bilang, Allah tak pernah lupa memberi rizki. Semua yang ada di bumi pasti diberikan rizki. Lalu, kenapa di bumi Allah yang Maha Luas, Bapak mengambil jarak berkilo-kilo meter jauhnya dari kami. Bapak pergi bukan sehari dua hari, tetapi bertahun-tahun. Waktu itulah yang membuat Ara kadang lupa, kalau Bapak masih ada. Ara tidak kejam kan pa?

Nanti Bapak kirim kabar lagi ya lewat surat. Ara jangan lupa sholat. Ajak Lia dan Hari. Anak Bapak yang paling besar, pasti bisa bantu Ibu jaga kan?”

Lima lembar surat Bapak, kembali Ara lipat. Perih ini biarkan tersimpan rapi dalam amplop putih di atas ranjang Bapak.

                                                                                                 
---------------------
  King Abdullah
----------------------
                                                                                      

From : Imadudin                        For : Diah Prameswari
Po Box 36541                             Jalan Bunga No.4 Soeeta 
Riyadh Saudi Arabia                Bandung, Indonesia            


Desember, 1997
Ara Rindu Bapak


***

Ara kini mengerti pa, kenapa Bapak pergi!

Bapak tak punya pilihan. Bapak tak punya keahlian. Bapak terpaksa mencari pekerjaan ke negeri para TKI. Uang yang Bapak peroleh bisa lebih besar dari tempat kelahiran Bapak.

Raga Bapak memang jauh, namun hati dan jiwa, Bapak simpan disini. Di hati Ara, Lia, Hari, dan Ibu yang kian hari kulitnya mengeriput, walaupun usianya masih belum terlalu tua. Mungkin karena pekerjaan hidup itu pa. Membesarkan kami. Mendidik kami. Dia seorang diri tanpa pendamping hidup. Tenaga dan pikirannya tercurah untuk kami. Wajahnya kadang lelah, tapi dia tetap masih bisa bercanda, tersenyum bersama kami. Itu Ibu pa. Istri dan kekasih Bapak.

Desember, 1998
Indonesia Bergejolak, seperti Gejolak Ara yang rindu Bapak

Buku harian itu diletakan Ara. Buku sejarah hidup Ara tentang Bapak, akan tersimpan rapi sampai Bapak kembali berkumpul bersama kami.






Komentar

Postingan Populer