Ikhlas Itu Masih Boleh Galau Ngga Seh?

  Foto : Eli Kamilah

Ikhlas itu berarti menerima dengan segenap hati, tidak menggerutu apalagi mengumpat. Betul ngga seh? Kayanya yak :D hehehe

Terkadang kita dipertemukan dengan orang-orang yang hidupnya hanya untuk menipu orang, mencelakakan dan menyakiti orang lain. 

Kehilangan handphone, yang mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan orang lain yang kehilangan lebih besar lagi. Bahkan seseorang yang berarti dalam hidup mereka. Namun, hal kecil ini ternyata masih juga mempengaruhi hati dan pikiran kita. Ujung-ujungnya kita menyalahkan diri yang terlalu bodoh bisa ditipu orang lain, dan terlalu naif sehingga sering dimanfaatkan orang lain.

Namun, perbincangkan saya dengan para  orang tua yang yang saya hormati, orang tua yang mau berkorban apapun untuk anak mereka, mengajarkan saya banyak hal.

Ikhlas! Terlihat sepele, gampang diucapkan, tapi prakteknya susah. Kalau kita sudah menerima kehilangan,  Terus apa? Bagaimana dengan luka kehilangan kita? Bagaimana cara kita mendapatkan barang yang sudah hilang? Wajar dong yak jika menangis, meratapi betapa menyesalnya kita, tidak telitinya kita. Pertanyaan seperti itu seringkali menjadi pembenaran untuk kita mengumpat, mencaci maki, menguntuk-ngutuki atau menyumpahi para penjahat yang membuat barang kita hilang. Atau bahkan karena terlalu cinta mengutuk DIA yang MAHA Kuasa. Nauzhubillah.

Bapak bilang, jika kita ikhlas karena kehilangan barang kita, rezeki lain akan datang, bahkan berlebih. Syaratnya, Ikhlas ya nak, tidak menyebut-nyebut barang yang hilang, dan banyaknya istigfar agar hatimu tenang.

Bukan tanpa sadar, Bapak pun berkali-kali dimanfaatkan orang, bahkan sampai ditipu habis-habisan. Tapi kata Bapak, dia memilih untuk “menyudahi” bersedih hati. “Merelakan” barangnya diambil orang dan menyakini masih banyak nikmat yang dimiliki dibandingkan dengan kehilangan yang dialami.

Tegas Bapak. Ikhlas itu perlu latihan. Tidak bisa instan. Pandanglah sesuatu dengan “DariNYA, maka akan kembali kepada-NYA.”

Yes, Bapak  i Wish i could.

Pelajaran lain datang dari Bapaknya Suami.  Bapak juga bijak. Mencoba menasehati dengan tak menggurui. Dia cerita pernah ada beberapa orang yang menipunya untuk membeli sesuatu. Tapi barang sudah diberikan, orang tak kunjung datang. Kata Bapak, ya sudahlah. Relakan saja. Nanti ada gantinya.

Toh, kata bapak, orang yang menipu hanya hidup singkat.  Punya uang yang banyak pun rasanya akan selalu kurang. Pun ketika dia menipu bapak. Bapak bilang saat dia menjual barang curiannya, dia pasti akan punya uang, tapi itu takan bertahan lama. Uangnya akan habis. Setelah itu dia akan pusing sendiri untuk mencari. Menipu lagi dan lagi, dan tak ada habisnya.  Jadi, berlatihlah untuk menerima, perbanyak memberi, dan berhenti berlama-lama meratapi.


Pengalaman hidup para “tetua” wajib didengarkan, disimak, siapa tahu ada pelajaran berharga yang bisa didapatkan. Dan aku, yaaaa learning by doing, bapak J doakan aku bisa. 

Komentar

Postingan Populer