Pelayanan publik haruskah dengan tips?
Terheran-heran
mendengar hampir seluruh tetangga mengusulkan hal yang sama. "bayar ga,
paling ngasih uang rokok saja ya". Cerita berawal dari listrik rumah
padam, dipanggilah PLN, telepon berbunyi yang salah satu kalimatnya
"terimakasih untuk tidak memberi tips pada petugas". Lama berselang
PLN datang dengan peralatan lengkap dan beberapa orang. Singkat cerita PLN
selesei menyeleseikan tugasnya, pulang dan mengerjakan tugas pelayanan daerah
lain, tanpa meminta tips. Hanya saja saran dari sana sini, "kasian, kasih
aja uang rokok atau uang jalan. Sebenarnya uang sudah tersiap, tapi karena cuma
sebentar akhirnya tidak jadi.
Di
kasus lain, ketika mengurus KTP dan perpindahannya, saya harus mengeluarkan
tips sedikitnya 10.000 untuk tandatangan dan pengurusan sana sini, semisal, rt,
rw, kelurahan dan lain sebagainya. Uangnya tidak seberapa, tetapi muncul banyak
pertanyaan dalam benak saya, benarkan setiap pelayanan publik harus dengan tips?dan
kenapa masyarakat pada umumnya menganggap hal itu biasa dan lumrah, padahal
tugas merekalah memberikan pelayanan terbaik pada kita, tanpa harus ada tips
diujungnya.
Setiap
pekerjaan memiliki kode etiknya masing-masing. Akan beda dilihat jika tips yang
kita berikan hanya sebatas pada pelayan di restoran, perawatan di salon dan
tips untuk para tukang parkir, dibanding dengan tips yang diberikan untuk para
pejabat pemerintah. Para pegawai negeri, pejabat pemerintah daerah ataupun
pusat memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kepada publik dengan
atau tanpa tips, tetapi kenyataan dilapangan berkata lain, orang dengan sodoran
tips, akan mendapatkan pelayanan publik lebih ramah dan lebih cepat, memang
tidak semua para pejabat publik begitu, tetapi dengan adanya hal ini
membuktikan inilah akar dari pendidikan KKN alias korupsi, kolusi, nepotisme.
Indonesia
dengan korupsi yang merajarela, tentunya tidak menginginkan generasi muda
bangsa tercetak dengan perilaku yang sama. Untuk itulah semua lini seharusnya
mampu menjaga pemerintahan yang baik dan bersih, seperti wacana good governance
yang diidam-idamkan semua orang. Masyarakatpun perlu diajarkan arti pentingnya
penerapan peraturan pelayanan publik ketimbang mengedepankan tradisi atau
budaya memberi tips.
Banyaknya
wacana tentang reformasi birokrasi yang dikaitkan dengan pelayanan yang efektif
dan efisien pada masyarakat dengan artian bahwa aparat birokrasi dituntut untuk
meningkatkan pelayanan dengan sebaik-baiknya, sehingga bisa memberikan rasa
kesejahteraan dan keadilan pada masyarakat banyak, tentunya tidaklah
mudah.
Proses
reformasi yang harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah karena
harus memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif struktur dan
konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke serba rasional dan
profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba priyayi
(ambtenaar) ke arah birokrasi dengan konfigurasi otoritas yang rasional
(Wignyosoebroto: 11), yang dalam tataran empirik dari budaya minta
dilayani menjadi budaya melayani sebagai abdi masyarakat (public service).
(http://siswoyo22.wordpress.com)
Demikian
pentingnya pelayanan publik yang sebaik-baiknya dilakukan oleh pemerintah,
sering dijadikan tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam menciptakan good
governance atau pemerintahan yang baik. Paradigma good governance sendiri
menganut prinsip-prinsip Partisipasi,
Penegakan Hukum, Transparasi, Kesetaraan, Daya Tanggap, Wawasan Kedepan, Akuntabilitas, Pengawasan, Efesiensi & Efektifitas
serta Profesionalisme.
Penciptaan kesemuanya
itu butuh kerja keras dan dukungan. Seyogyanya pemerintah meningkatkan moral
dalam peningkatan SDM ketimbang nilai atau skor yang tinggi. Masyarakat umum juga
diarahkan dan diajak pada budaya santun, bersih dan bertanggungjawab yang
diberikan pertama dari para abdi masyarakat sendiri, sehingga budaya tips atau
UUJ (ujung ujungnya duit) tak berakar sampai dalam.
Hanya sebuah pertanyaan yang
menggelayut terlalu lama dalam benak :]
www.kompasiana.com/ekamilah
Komentar
Posting Komentar