Cinta Dibutuhkan, Komitmen??
Perempuan mana yang tidak ingin selalu didampingi suaminya. Begitupun dengan Ibu. Ibu harus merelakan Bapak pergi merantau untuk bekerja. Keputusan sulit itu diambil Bapak dan Ibu karena keterbatasan ekonomi saat itu. Hingga akhirnya bertahun-tahun Bapak dan Ibu berpisah jarak berkilo-kilo meter jauhnya. Apalagi harus menjaga empat orang anak yang masih kecil.
Aku adalah putri pertamanya, yang merasakan betul detik-detik
ketika Bapak harus meninggalkan kami. Aku jualah yang lebih memahami dibanding
adik-adikku bagaimana keseharian Ibu ketika Bapak pergi. Tidak mudah memang
menjalani hidup sebagai seorang istri tanpa suami disisinya. Apalagi 13 tahun
bukan waktu yang sedikit. Memang setiap dua tahun, Bapak pulang. Tentu dengan membawa
banyak cerita. Meskipun kehidupan Bapak di sana selalu baik-baik saja, tentulah
perasaan cemas menghantui Ibu sebagai seorang perempuan. Pertanyaan demi
pertanyaan muncul dalam benak Ibu, apakah Bapak menikah lagi tanpa
sepengetahuannya? Atau apakah Bapak punya simpanan?
Menurutku wajar jika Ibu berpikiran seperti itu, karena aku
pun punya pikiran yang sama. namun tahun demi tahun, aku selalu melihat
perubahan pada diri Ibu. Kecemasannya dulu seakan hilang pelan-pelan. Justru
harinya kini lebih tenang dari sebelumnya. Dan tak bisa aku percaya ketika 13
tahun berpisah, akhirnya Ibu mengijinkan Bapak menikah.
Kabar yang kudapat dari adik perempuanku, terus mengusikku
untuk bertanya pada Ibu. Sungguh aku tak rela jika Ibu di madu. Aku tak rela
jika Bapak menikah lagi di sana. Namun jawaban yang kuterima dari Ibu adalah
bahwa Ibu takut dosa. Tak bersama suami bertahun-tahun, tentunya Bapak butuh
seorang pendamping di dekatnya. Mendengar penjelasan Ibu, aku dan adikku sempat
marah dan kesal. Bukan apa-apa, itu karena selama penantian tak sedikit
gunjingan orang, lelaki hidung belang yang selalu berusaha mendekati Ibu,
sekalipun Ibu menolak dan menjauhinya. Bahkan sampai sekarang pun ada saja yang
mengajaknya berbuat serong. Ibu hanya berkata “Saya itu bukan janda, saya punya
suami”. Dari sana aku lihat keteguhan iman dan komitmen Ibu jelas terlihat. Dia
menahan setiap godaan dan gejolak hawa nafsu dirinya, dengan iman dan selalu
dekat dengan Tuhan. Menjaga kehormatan diri berarti menjaga amanah suami,
ketika dia tak ada. Nasihat Itulah yang disampaikan Ibu padaku ketika aku
menikah dan suamiku sering bertugas ke luar kota.
Aku pun terpesona dengan jawaban Bapak ketika Ibu memintanya
menikah. Bapak hanya berkata “Untuk apa Bapak pergi kerja jauh-jauh bu. Kalau bukan
untuk Ibu dan anak-anak.” “Bapak mah cukup Ibu jaga dan sekolahin anak-anak,
jangan lupa didik dengan agama, Bapak baik-baik saja di sini, insya Allah Bapak
kuat.” Jawaban ini tak membuatku ragu, bahwa janji setia Bapak untuk Ibu
walaupun tidak terucap secara langsung, tindakan Bapak membuktikan itu semua.
Banyak sahabat Bapak dan kenalan yang pernah di tolong Bapak di sana yang
menjamin, kalau Bapak tidak pernah macam-macam. Kami pun percaya. Biarlah Allah
yang menjaga kekuatan Imannya, begitu kata Ibu. Karena di sana pun Bapak sama
menderitanya. Bapak pernah merasakan dinginnya penjara bawah tanah karena di
fitnah, pernah merasakan di ancam untuk di bunuh oleh temannya sendiri karena
melaporkan perselingkuhannya kepada istrinya. Bagi Bapak, kebenaran tetap harus
dikatakan sekalipun sulit. Bapak juga pernah ditawari seorang perempuan dan
bahkan ada perempuan yang meminta untuk dinikahi Bapak. Semuanya di tolak
Bapak.
Bapak memang bukan malaikat yang tanpa hawa nafsu. Sering aku
berpikir kuatkah Bapak? Namun dari cerita Ibu aku kini yakin bahwa Allah selalu
menjaga iman Bapak. Tidak ada waktu yang terbuang sedikit pun dalam hari-hari
Bapak kecuali untuk ibadah dan bekerja. Sepertiga malam Bapak sudah terbangun,
biasanya sebelum shalat Bapak menelepon Ibu untuk bangun dan shalat malam.
Sampai subuh Bapak berkeliling mencuci mobil tetangganya, tentu dengan izin
majikan dan sebelum tugas utamanya dilaksanakan. Dari pagi sampai malam Bapak
menjalankan tugasnya sebagai sopir pribadi keluarga pensiunan yang sederhana.
Di waktu istirahatnya pun Bapak berkeliling mencari Koran bekas untuk di jual.
Bagiku mungkin karena sikap Bapaklah, orang-orang asing di sana begitu peduli
pada Bapak dan kerja keras Bapak menjadi kepercayaan Ibu untuknya. Sebuah
komitmen kuat yang dijalin lewat bahasa tubuh Bapak. Komitmen yang tidak harus
dikatakan.
Perjalanan panjang Ibu dalam penantiannya membuatku merenung.
Biarlah orang berkata apa, asalkan kita menjalani pernikahan kita dengan baik. Sebagai
perempuan dan seorang istri Ibu menaruh kepercayaan besar pada Bapak. Karena
Bapak menaruh komitmen dengan landasan iman di dalamnya. Aku pun percaya
seberapa mandiri dan kuatnya seorang perempuan, komitmen memang sangat penting
dalam satu jalinan. Sekalipun komitmen itu tak pernah terucap secara langsung.
Aku pernah membaca satu bait indah dan aku katakan kepada suamiku bahwa pria
sejati bukan dilihat dari banyaknya perempuan yang memuja, namun bagaimana
komitmenya pada perempuan yang dicintainya. Suamiku hanya tersenyum dan berkata
“yayaya.” Aku langsung berdiri dan tersenyum mendekatinya. Pikirku “hmm…akhirnya
dia hanya bisa berdiam saja, xixixi…”
Komentar
Posting Komentar